Rabu, 18 Mei 2011

Membaca Cerpen

MEMBACA CERPEN

Dalam dunia sastra kita mengenal prosa dan puisi. Prosa meliputi roman (novel), dan cerita pendek(cerpen). Ada juga jenis prosa yang lebih pendek dari novel, tetapi lebih panjang dari cerpen, yang disebut novelet. Cerpen, novelette atau novel, tergolong tulisan kreatif (creative writing).
Sebuah cerpen memiliki tema, pesan moral dan gaya penulisan tersendiri, sesuai dengan kecenderungan dan kemampuan pengarangnya. Proses penulisan sebuah cerpen cenderung lebih mudah dibanding penulisan sebuah novel, oleh sebab itu genre ini lebih banyak dimanfaatkan oleh para penulis untuk menyampaikan ide dan gagasan mereka kepada khalayak. Sifat cerpen juga sangat elastis dan cepat mengakomodasi persoalan yang sedang berkembang di masyarakat. Dengan posisinya yang seperti itu, cerpen bisa dijadikan gambaran dan cermin sosial mengenai kondisi sosial budaya suatu tempat saat cerpen itu ditulis. Sebagai karya sastra yang pendek, biasanya cerpen yang baik memiliki kata dan kalimat yang tepat, kuat dan enerjik, sehingga pesan dan maksud pengarang akan terasa lebih merasuk di hati para pembaca. Dalam sastra Melayu lama, sebenarnya penulisan model cerpen ini sudah pernah dirintis oleh Haji Ibrahim dari Kesultanan Penyengat, Riau sejak tahun 1865. Namun, saat itu genre ini tidak mendapat tanggapan yang berarti dari kalangan sastrawan apalagi khalayak, sehingga kalah bersaing dengan hikayat, syair dan pantun. Oleh sebab itu, cerpen tidak mengalami perkembangan yang berarti. Barulah ketika memasuki abad ke-20, cerpen mulai mengalami perkembangan yang cukup baik dan terus berkembang semakin pesat dewasa ini.

1.        Pengertian Cerpen
Cerpen adalah cerita yang ditulis pendek. Tetapi seberapa pendeknya? Bukankah panjang atau pendek itu relative? Karena itu lalu dibuat patokan yang sudah umum berlaku. Cerpen bisa didefinisikan sebagai sebuah cerita yang formatnya sangat singkat, dan berisi penggalan cerita tertentu. Cerpen adalah karya fiksi. Maksudnya, cerita yang terkandung di dalamnya bukan kisah nyata.
Jika menulis sebuah cerita yang merupakan pengalaman pribadi, maka itu bukanlah cerpen. Namun, anda bisa menulis sebuah cerpen berdasarkan kisah nyata. Dalam hal ini, kisah nyata tersebut hanya diperlakukan sebagai sumber ide. Setelah itu, ide tersebut diolah sedemikian rupa, sehingga ia menjadi cerita fiksi alias tidak nyata.
Sebagai patokan atau pedoman umum, cerpen terdiri dari 2000 kata sampai dengan 10.000 kata. Penggolongannya adalah sebagai berikut:
a.    Cerita Pendek (short story)
b.    Cerita pendek yang pendek (short, short story)
c.    Cerita pendek yang sangat pendek (very short-short story)
Cerpen yang pendek hanya terdiri dari 750 sampai dengan 1000 kata. Cerpen jenis ini biasanya disebut cerita mini yang lazim disingkat cermin. Di Barat cermin disebut flash yang artinya sekilas atau sekelebatan membacanya. Jenis ini tergolong dalam very short-short story.
Sedangkan cerpen yang ditulis sampai dengan 10.000 kata bisa disebut dengan cerpan (cerita pendek yang panjang). Jenis cerpen ini bisa dikembangkan menjadi novelette atau novel pendek. Karya-karya cerpen para sastrawan Eropa, Amerika Latin dan AS tahun 1940-1960-an pada umumnya ditulis begitu panjang dan layak disebut cerpan.

2.    Ciri-Ciri Cerpen Ideal
Cerpen yang ideal adalah sebagai berikut:
a.         Ditulis terdiri dari 3.000 atau 4.000 kata.
b.         Bahasa dan isinya mudah dipahami. Dengan demikian, cerpen tersebut dapat di baca kurang dari satu jam dan isinya tidak terlupakan oleh pembacanya sepanjang waktu.

3.    Jenis Cerpen
Cerpen tentu banyak jenisnya. Pembagiannya pun bermacam-macam. Berdasarkan segmen pembacanya, ada cerpen anak-anak, cerpen remaja, dan cerpen dewasa. Berdasarkan temanya, ada cerpen drama, cerpen misteri, cerpen humor, dan seterusnya. Tidak ada aturan bahwa cerpen itu harus ada dialognya atau tidak boleh ada dialog, dan seterusnya. Intinya sebenarnya adalah pada kesatuan cerita yang ditulis. Jika anda merasa bahwa cerpen tersebut lebih menarik tanpa dialog, atau lebih menarik jika isinya dialog semua. Itu semuanya terserah anda sebagai penulis. Setiap penulis punya kebebasan yang sangat luas dalam hal ini.
Novel dan cerber sebenarnya tidak ada bedanya. Cerber atau cerita bersambung adalah sebuah karya fiksi yang sangat panjang (jumlah halamannya) dan dimuat di sebuah media cetak secara bersambung. Sedangkan novel adalah sebuah cerita dalam bentuk buku. Maka, bila sebuah cerber diterbitkan menjadi buku, maka namanya akan berubah menjadi novel.
Cerpen, akronim dari cerita pendek, merupakan jenis prosa yang baru berkembang pada masa modern. Sebagai bagian dari genre prosa, yang membedakan cerpen dari jenis prosa yang lain, seperti hikayat dan novel, adalah plotnya yang tidak rumit, tokoh yang terbatas, persoalan yang tidak banyak dan bentuk karangannya yang pendek.
Ada dua tipe cerpen, yaitu cerpen yang ditulis dengan sempurna disebut well made short-story dan cerpen yang ditulis tidak utuh disebut slice of life short-story. Tipe pertama adalah cerpen yang ditulis secara fokus yaitu: satu tema dengan plot yang sangat jelas dan ending yang mudah dipahami. Cerpen tersebut pada umunya bersifat kovensional dan berdasar pada realitas/fakta. Maka cerpen tipe ini biasanya enak dibaca dan mudah dipahami. Pembaca awam dapat membaca cerpen jenis ini kurang dari satu jam.
Sebaliknya, cerpen tipe kedua, yaitu slice of life short-story, tidak terfokus temanya, memencar, sehingga plot tidak terstruktur. Plot (alur) ceritanya kadang dibuat mengambang oleh pengarangnya. Pada umumnya, cerpen jenis ini ditulis dengan gaya kontemporer dan bersumber dari ide atau gagasan murni, maka disebut juga dengan cerpen gagasan. Dengan demikian, cerpen tipe ini seringkali sulit dipahami sehingga perlu dibaca berulang-ulang. Pembaca karya seperti itu adalah kalangan tertentu yang memang paham akan karya-karya sastra.
Cerpen tipe mana pun, yang ditulis sebagai cerpen standar, cermin (flash) maupun cerpan mempunyai beberapa persamaan:
a.         Bercerita tentang manusia atau sesuatu yang dimanusiakan
b.        Menyajikan satu (tunggal) peristiwa (lampau, sekarang atau yang akan datang).
c.         Jumlah tokoh yang ditampilkan satu atau paling banyak tiga orang.
d.        Kurun waktu peristiwa sangat terbatas.
e.         Pada umumnya, karya dipublikasi di media massa sebelum diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerpen.
f.         Mengandung elemen plot, sudut pandang, tokoh/pelaku, dialog, konflik, setting dan suasana hati (mood/atmosphere).

Ada beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman mengenal cerpen, yaitu sebagai berikut.
-          Menurut bentuk fisiknya, cerita pendek (atau disingkat menjadi cerpen) adalah cerita yang pendek.
-          Ciri dasar lain cerpen adalah sifat rekaan (fiction). Cerpen bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi (nonfiksi), berdasarkan kenyataan kejadian yang sebenarnya. Cerpen benar-benar hasil rekaan pengarang. Akan tetapi, sumber cerita yang ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan.
-          Ciri cerpen yang lain adalah sifat naratif atau penceritaan.
Cerpen sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang sama. Cerpen dibangun dari dua unsur intrinsik dan ekstrinsik. Cerpen memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang "kurang penting" yang lebih bersifat memperpanjang cerita.
Cerpen sebagai karya sastra prosa memiliki unsur-unsur dalam (intrinsik) yang membangunnya. Hal yang pelu diperhatikan adalah unsur-unsur tersebut membentuk kesatuan yang utuh. Dalam hal ini, satu unsur akan mempengaruhi unsur lainnya.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini unsur-unsur yang terdapat dalam cerpen.
1.      Tema
Cerpen hanya berisi satu tema karena ceritanya yang pendek. Hal itu berkaitan dengan keadaan jalan cerita yang juga tunggal dan tokoh (pelaku) yang terbatas. Tema dapat kita dapat setelah kita membaca secara menyeluruh (close reading) isi cerpen. Dengan demikian, tema ada tersamar dalam cerita.
Tema yang diangkat dalam cerpen biasanya sesuai dengan amanat/pesan yang hendak disampaikan oleh pengarangnya. Tema menyangkut ide cerita. Tema menyangkut keseluruhan isi cerita yang tersirat dalam cerpen. Tema dalam cerpen dapat mengangkat masalah persahabatan, cinta kasih, permusuhan, dan lain-lain. Hal yang pokok adalah tema berhubungan dengan sikap dan pengamatan pengarang terhadap kehidupan.

Pengarang menyatakan idenya dalam unsur keseluruhan cerita. Mencari arti sebuah cerpen, pada dasarnya adalah mencari tema yang terkandung dalam cerpen tersebut. Cerpen yang baik mempunyai efek penafsiran bagi pembaca setelah membaca cerpen tersebut. Pengarang cerpen kadang-kadang juga menyatakan tema ceritanya secara tersembunyi dalam suatu potongan perkata-an tokoh utamanya, atau dalam satu adegan cerita. Seorang pengarang bisa saja mengemukakan tema yang sama dalam berpuluh-puluh cerpennya, asal cukup bervariasi dalam mengungkapkannya.
2.      Jalan Cerita dan Plot
Plot merupakan bagian rangkaian perjalanan cerita yang tidak tampak. Jalan cerita dikuatkan dengan hadirnya plot. Plot dengan jalan cerita tidak dapat dipisahkan.

Adapun kahadiran konlik harus ada sebabnya. Secara sederhana, konflik lahir dari mulai pengenalan hingga penyelesaian konflik. Untuk lebih jelasnya, tingkatan konflik adalah sebagai berikut.
Pengenalan konflik > Timbul permasalahan (konflik) > Permasalahan memuncak > Permasalahan mereda > Penyelesaian masalah
3.      Pengenalan konflik
Dalam bagian ini, pembaca dibawa untuk mengetahui bagaimana benih-benih konflik bisa muncul. Dalam hal ini, masih ada taraf pengenalan bagaimana hadirnya tiap tokoh (terutama tokoh utama).
Konflik muncul
Munculnya konflik ini disebabkan hadirnya pertentangan, baik paham, pandangan, maupun emosi, yang membuat hubungan antartokoh menegang. Bisa juga adanya pertentangan batin dalam diri sang tokoh. Munculnya benih konflik ini, biasanya akan dibedakan hadirnya tokoh yang baik dan jahat. Konflik yang muncul menimbulkan gesekan sehingga jalan cerita akan dibawa semakin memuncak. Timbulnya konflik yaitu terbentuknya plot yang juga berhubungan erat dengan unsur watak, tema, bahkan juga setting.

c. Konflik memuncak
Konflik yang memuncak disebut juga klimaks. Dalam hal ini, pertentangan antartokoh akan membuat masalah berada dalam titik kulminasi (puncak). Konflik yang memuncak ini semakin membedakan bagaimana tiap tokoh bertindak, baik dengan cara maupun pikirannya masing-masing. Dalam cerpen, konflik digambarkan sebagai pertarungan antara tokoh protagonis dan antagonis.

Protagonis adalah pelaku utama cerita, adapun antagonis adalah faktor pelawannya. Antagonis tak perlu berupa manusia atau makhluk hidup lain, tetapi bisa situasi tertentu (alam, Tuhan, kaidah moral, aturan sosial, dirinya sendiri dan sebagainya). Dengan demikian, kunci utama untuk mencari plot suatu cerita adalah menanyakan apa konfliknya. Dan konflik ini baru bisa ditemukan setelah pembaca mengikuti jalan ceritanya.

d. Konflik mereda
Konflik mereda muncul setelah tegangan tokoh dalam cerita menemukan jalannya masing-masing. Konflik yang mereda hadir karena posisi masing-masing tokoh sudah ada jawabannya masing-masing.

e. Penyelesaian
Penyelesaian muncul sebagai titik akhir dari permasalahan yang telah memuncak. Dalam tahap ini, para tokoh telah menemukan nasibnya masing-masing. Dalam pembacaan cerita, penyelesaian ini akan membawa pembaca pada kesimpulannya masing-masing, yaitu menyangkut watak tokoh bahkan pembelajaran apa yang bisa diambil. Hal ini disebabkan konflik adalah inti cerita yang muncul dan biasa ditunggu dan dinikmati pembaca.
Adapun urutan peristiwa dalam cerpen dapat dimulai dari mana saja. Sebagai contoh, sebuah cerpen dapat dimulai dari masalah yang memuncak.

Dengan demikian, tidak harus bermula dari tahap perkenalan tokoh ataupun latar. Hal ini menyangkut kepiawaian pengarang dalam mengolah jalan cerita. Dengan begitu, jalan cerita tidak bersifat konvensional. Berhubung berplot tunggal, konflik yang dibangun dan klimaks yang akan diperoleh pun, biasanya, bersifat tunggal pula.

3. Tokoh dan Perwatakan
Tokoh (pelaku) cerita dalam cerpen terbatas. Berbeda dengan novel yang digambarkan secara mendetail, tokoh dalam cerpen perlu lebih dicitrakan lebih jauh oleh si pembaca. Dengan demikian, cerpen yang baik hendaklah mampu membangitkan imajinasi pembaca lebih jauh. Tokoh-tokoh cerita novel biasanya ditampilkan secara lebih lengkap, misalnya yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik, keadaan sosial, tingkah laku, sifat dan kebiasaan, termasuk bagaimana hubungan antartokoh itu, baik hal itu dilukiskan secara langsung maupun tidak langsung. Kesemuanya itu, tentu saja, akan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan konkret tentang keadaan para tokoh cerita tersebut. Dalam cerpen, pembaca mengira-ngira gambaran tentang jatidiri tokoh sesuai dengan imajinasi pembaca sendiri.

Mutu sebuah cerpen banyak ditentukan oleh kepandaian penulis menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Kehadiran tokoh semestinya mempunyai kepribadian sendiri. Hal ini bergantung masa lalunya, pendidikannya, asal daerahnya, maupun pengalaman hidupnya. Cerpen yang baik hendaklah mampu menampilkan jatidiri tokoh walaupun tidak harus digambarkan secara implisit (langsung).
Cara tokoh dalam menghadapi masalah maupun kejadian tentulah berbeda-beda. Hal ini disebabkan latar belakang (pengalaman hidup) mereka. Dengan menggam-barkan secara khusus bagaimana sang tokoh sedih, kita lebih banyak diberi tahu latar belakang kepribadiannya. Penulis yang berhasil menghidupkan watak tokoh-tokoh ceritanya, berhasil pula dalammenghdiupkan tokoh. Kita pun bisa belajar banyak melalui cara merasa dan berpikir tokoh-tokoh yang hadir dalam cepen. Hal ini berhubungan dengan manifestasi sastra untuk kemanusiaan.
Adapun penggambaran tokoh dapat ditempuh dengan beberapa jalan yang muncul dalam diri tokoh, yaitu sebagai berikut
Apa yang diperbuat oleh para tokoh
Tindakan-tindakan para tokoh, terutama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis. Watak seseorang memang kerap kali tercermin dengan jelas pada sikapnya dalam situasi gawat (penting), karena ia tak bisa berpura-pura, ia akan bertindak secara spontan menurut karakternya: Situasi kritis di sini tak perlu mengandung bahaya, tapi situasi yang mengharuskan dia mengambil keputusan dengan segera.
Melalui ucapan-ucapan tokoh
Dari apa yang diucapkan oleh seorang tokoh cerita, kita dapat mengenali apakah ia orang tua, orang dengan pendidikan rendah atau tinggi, sukunya, wanita atau pria, orang berbudi halus atau kasar, dan sebagainya.

c. Melalui penggambaran fisik tokoh
Penulis sering membuat deskripsi mengenai bentuk tubuh dan wajah tokoh-tokohnya. Yaitu tentang cara berpakaian, bentuk tubuhnya, dan sebagainya. Tapi dalam cerpen modern cara ini sudah jarang dipakai. Dalam fiksi lama penggambaran fisik kerap kali dipakai untuk memperkuat watak.

d. Melalui pikiran-pikirannya
Melukiskan apa yang dipikirkan oleh seorang tokoh adalah salah satu cara penting untuk membentangkan perwatakannya. Dengan cara ini pembaca dapat mengetahui alasan-alasan tindakannya.

e. Melalui penerangan langsung
Dalam hal ini, penulis mernbentangkan panjang lebar watak tokoh secara langsung. Hal ini berbeda sekali dengan cara tidak langsung, yang pengungkapan watak lewat perbuatannya, apa yang diucapkannya, menurut jalan pikirannya, dan sebagainya.

4. Latar (Setting)
Latar (setting) dalam cerpen merupakan salah satu bagian cerpen yang dianggap penting sebagai penggerak cerita. Setting mempengaruhi unsur lain, semisal tema atu pennokohan. Setting tidak hanya menyangkut lokasi di mana para pelaku cerita terlibat dalam sebuah kejadian.

Dalam cerpen yang baik, setting harus benar-benar sebuah syarat untuk menggarap tema dan karakter cerita. Dari setting wilayah tertentu harus menghasilkan perwatakan tokoh tertentu, tema tertentu. Kalau sebuah cerpen settingnya dapat diganti dengan tempat mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema cerpennya, maka setting demikian kurang integral.

Setting pun hendaknya menyatu dengan tema, watak, gaya, maupun kaitan kebijakan cerita yang dapat diambil hikmahnya pelah pembaca cerpen. Latar bisa berarti banyak yaitu tempat tertentu, daerah tertentu, orang-orang tertentu dengan watak-watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup tertentu, cara berpikir tertentu.

Cerpenis-cerpenis Indonesia banyak yang mempunyai ciri tertentu karena pemilihan settingnya saja. Contohnya, Pramoedya Ananta Toer yang kental dgaya setting cerpennya yang penuh unsur sejarah dan kondisi sosial mayarakat. Selain itu, cerpenis Ahmad Tohari dengan lihai mampu menggambarkan setting pedesaan yang penuh dengan segala keindahan dan perilaku sosial masyarakat dusun/kelas bawah.

Ada pula cerpenis S.M. Ardan yang terkenal sebagai penulis dengan setting Betawi. Cerpen-cerpennya mampu menggambarkan kehidupan khas rakyat kecil Betawi, gaya bahasa rakyat kecil yang jujur tanpa menghiraukan sopan santun umum-nya. Dalam mengikuti cerpennya kita diajak masuk ke suatu daerah tertentu dengan kehidupan tertentu, kebiasaan tertentu, yang tak mungkin diganti dengan daerah lain. Begitulah, cerpen Ardan hanya mungkin terjadi di pelosok-pelosok Betawi. Kalau unsur setting itu diganti maka praktis tak ada lagi cerita. Jadi settingnya berhasil menyatu dalam tema, gaya, dan plot.

Adapun penggolongan setting dapat dikelompokkan dalam setting tempat, setting waktu, maupun setting sosial.

a. Setting tempat
Kehadiran setting tempat dalam cerpen bukan tanpa tujuan yang pasti. Setting tempat mempengaruhi bagaimana kondisi sang tokoh diciptakan. Secara sederhana, setting tempat akan mempengaruhi gaya maupun emosi tokoh dalam berbicara. Contohnya, setting dengan situasi pantai akan berbeda dengan situasi di gunung.

Begitu pula setting dengan tempat yang khas akan berbeda dengan kondisi tempat lainnya. Salah satu contohnya, tokoh yang hadir dengan nama Ujang akan halnya dengan setting dengan menggunakan tokoh Ida Bagus. Para pembaca cerpen sudah mempunyai pengetahuan awal mengenai kedua nama tersebut. Ujang berasal dari tanah Sunda adapun Ida Bagus berasal (minimal keturunan) Bali.

b. Setting waktu
Setting waktu menyangkut kapan cerita dalam cerpen terjadi. Setting waktu mempengaruhi bagaimana cara tokoh bertindak. Hal ini salah satunya dapat ditunjukkan dengan contoh perbedaan cerita dengan setting yang terjadi zama tahun 1930-an dahulu dengan setting tahun 2000-an. Hal ini dapat diamati dengan cara berbicara tokoh maupun kondisi lingkungan saat itu.
c. Setting social
Setting sosial yang terjadi pada waktu kejadian di dalam cerpen terwakili oleh tokoh. Salah satunya, dapatkah kamu mempunyai gambaran antara setting sosial zaman Reformasi dengan setting sosial zaman Perang Diponegoro dahulu?
5. Sudut Pandang (Point of View)
Point of view berhubungan dengan siapakah yang menceritakan kisah dalam cerpen? Cara yang dipilih oleh pengarang akan menentukan sekali gaya dan corak cerita. Hal ini disebabkan, watak dan pribadi si pencerita (pengarang) akan banyak menentukan cerita yang dituturkan pada pembaca. Tiap orang punya pandangan hidup, cara berpkiri, kepercayaan, maupun sudut emosi yang berbeda-beda. Penentuan pengarang tentang soal siapa yang akan menceritakan kisah akan menentukan bagaimana sebuah cerpen bisa terwujud.

Adapun sudut pandang pengarang sendiri empat macam, yaitu sebagai
berikut.

a. Objective point of view
Dalam teknik ini, pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti kamu melihat film dalam televisi. Para tokoh hadir dengan karakter masing-masing. Pengarang sama sekali tak mau masuk ke dalam pikiran para pelaku. Dengan demikian, pambaca dapat menafsirkan sendiri bagaimana pandangannya terhadap laku tiap tokoh. Dan dengan melihat perbuatan orang lain tersebut kita menilai kehidupan jiwanya, kepribadiannya, jalan pikirannya, ataupun perasaannya.

Motif tindakan pelakunya hanya bisa kita nilai dari perbuatan mereka. Dalam hal ini, pembaca dapat mendari tafsiran sendiri dari dialog antartokoh maupun tindak-tanduk yang dilakukan tiap tokoh. Pengarang paling hanya memberikan sedikit gambar mengenai kondisi para tokoh untuk “memancing” pembaca mengetahui lebih jauh tentang tokoh-tokoh yang ada dalam cerita.

b. Omniscient point of view
Dalam teknik ini, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. la tahu segalanya. la bisa menciptakan apa saja yang ia perlukan untuk melengkapi ceritanya sehingga mencapai efek yang diinginkannya. la bisa keluar-masukkan para tokohnya. la bisa mengemukakan perasaan, kesadaran, jalan pikiran para pelaku cerita. Pengarang juga bisa mengomentari kelakuan para pelakunya. Bahkan pengarang bisa bicara langsung dengan pembacanya.

Ciri omniscient point of view lebih cocok untuk cerita yang bersifat sejarah, edukatif, ataupun humoris. Teknik ini biasa digunakan untuk hal-hal yang bersifat informatif bagia pembaca, yang kiranya memang pembaca belum begitu banyak mengetahui. Tentunya, teknik ini biasanya digunakan dalam penulisannya dilakukan observasi (pengamatan maupun pembacaan).

c. Point of view orang pertama
Teknik ini lebih populer dikenal di Indonesia. Teknik ini dikenal pula dengan teknik sudut pandnag “aku”. Hal ini seperti seseorang mengajak bicara pada orang lain. Jadi, bukan pengalaman orang lain yang diceritakan. Dengan teknik ini, pembaca diajak ke pusat kejadian, melihat, merasakan melalui mata dan kesadaran orang yang langsung bersangkutan. Tentunya, pemabaca juga harus cerdas membedakan jangan sampai pikiran “aku” dalam cerpen disamakan dengan pikiran si pengarang itu sendiri.

Teknik sudut pandang seperti ini sangat cocok untuk cerpen yang mebceritakan masalah kejiwaan (psikologis) sang tokoh. Pembaca dibawa hanyut dalam setiap gerak emosi sang tokoh.

d. Point of view orang ketiga
Teknik biasa digunakan dalam penuturan pengalaman seseorang sebagai pihak ketiga. Jadi, pengarang hanya “menitipkan” pemikirannya dalam tokoh orang ketiga. Orang ketiga (“Dia”) dapat juga berupa nama orang. Adapun perkembangan emosi tokoh dalam membentuk konflik dapat dilihat dalam hubungannya antara tokoh utama “dia” dengan tokoh lainnya. Dengan menggunakan tokoh ini, pengarang bisa lebih leluasa dalam menceritakan atau menggambarkan keadaan tanpa terpaku pada pandangan pribadi, beda halnya dengan menggunakan tokoh “aku”. Sang tokoh utama dapat seolah-olah berkembang sendiri dengan pemikiran sendirinya pula. Dengan demikian, pembaca dibawa untuk memahami sendiri bagaimana tokoh “dia” bertindak tanpa harus memikirkan peranan sang pengarang terhadap tokoh tersebut.

6. Gaya
Gaya menyangkut cara khas pengarang dalam mengungkapkan ekspresi berceritanya dalam cerpen yang ia tulis. Gaya tersebut menyangkut bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan, dan menceritakannya dalam sebuah cerpen. Tiap orang punya gaya sendiri, entah baik entah jelek. Apakah gaya tak mungkin berubah? Gaya bisa berubah kalau pribadi pengarangnya berubah. Kadang untuk para cerpenis pemula, seringkali penulis pemula tersebut menjadi meniru gaya penulisan cerpen dari cerpenis yang sudah dikenal tau ia kagumi. Hal ini karena para penulis pemula masih dalam proses pencarian bentuk.

Karya sastra cerpen merupakan “cap” sang pengarangnya. Bagaimana pengungkapan tokoh, pemilihan tema, sampai setting yang digunakan menyangkut gaya ini. Hal ini menyangkut bagaimana ia menggunakan bahasa. Contohnya, Joni Ariadinata kerap menulis dengan teknik yang meloncat-loncat dari satu adegan ke adegan lain dengan penghematan kata namun pada. Emosi pembaca pun akan larut terbawa di dalamnya. Lain halnya dengan Oka Rusmini, yang kerap menggambarkan sosok perempuan Bali dalam cerpen-cerpennya sebagai manusia yang harus bisa melawan ketertindasan tradisi. Begitu pula dengan Helvy Tiana Rosa yang fasih dalam menggambarkan tokoh dengan segala kebaikan yang penuh hikmah dengan aspek humanisme religius yang kental.

Gaya ini bisa dikatakan pula dengan penggunaan gaya bahasa yang khas dari tiap pengarang. Gaya bahasa itu menyangkut metafora, personifikasi, metonomia, dan lain-lain. Gaya tersebut biasa digunakan untuk memperindah kalimat. Dalam hal ini menyangkut bagaimana penggunaan kalimat, penggunaan dialog, penggunaan detail, atau cara memandang persoalan.

Kadang, para cerpenis pemula terjebak dalam penggunaan kata-kata yang terlalu bertele-tele. Sehingga, pembaca baru membaca beberapa paragraf saja sudah bosan dibuatnya. Belum lagi dengan sifatnya yang terlalu menggurui pembaca. Seolah-olah pembaca adalah orang awam yang tidak tahu apa-apa. Padahal, pembaca sendiri sebenarnya berhak untuk mempunyai horizon harapan tersendiri.

Ada baiknya, para cerpenis pemula untuk belajar kepada Mochtar Lubis atau Idrus yang sering menggunakan kalimat-kalimat sederhana namun mengena. Adapun Pramoedya Anantatoer sering menggunakan kalimat yang panjang tetapi pendek berirama. Para cerpenis tersebut selalu menggunakan gaya bahasa sederhana tetapi dapat cepat ditangkap maknanyaoleh pembaca. Intinya, cerpen yang baik mestilah sederhana, enak diikuti, dan kaya serta padat dengan pengertian-pengertian.

Gaya lain yang digunakan para cerpenis adalah dalam penggunaan dialog antartokoh. Cerpenis jenis hiburan banyak yang mempergunakan dialog sebagai cara penyampaian pengarang. Gaya dialog ini biasa digunaka oleh cerpenis Ashadi Siregar, Motinggo Boesje, Umar Kayam, dan Remy Sylado.

Ada banyak lagi gaya cerpenis lain yang sudah menjadi ciri khasnya. Misalnya, Seno Gumira Ajidarma yang kental dengan gaya bercerpen dengan teknik jurnalistik. Hal ini berhubungan juga dengan latar belakangnya sebagai wartawan (misalnya dalam cerpen “Saksi Mata”). Ada pula cerpenis yang kental dengan gaya penceritaan bernuansa perang, seperti dalam cerpen-cerpen Nugroho Notosusanto dan Trsinosumardjo. Hal ini disebabkan latar belakang keduanya yang mantan tentara (pejuang revolusi).

7. Amanat

Amanat adalah bagian akhir yang merupakan pesan dari cerita yang dibaca. Dalam hal ini, pengarang “menitipkan” nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari cerpen yang dibaca. Amanat menyangkut bagaimana sang pembaca memahami dan meresapi cerpen yang ia baca. Setiap pembaca akan merasakan nilai-nilai yang berbeda dari cerpen yan dibacanya.

Pesan-pesan kehidupan yang ada dalam cerpen hadir secara tersirat dalam keseluruhan isi cerpen. Pembaca dapat memaknainya dihubungkan dengan latar belakang maupun kehidupan sekarang yang ia hadapi. Cerpen yang baik hendaknya mampu menggugah pembaca supaya lebih memaknai dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang agung dan universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar